Jakarta, Berita Terkini – Delapan dekade setelah proklamasi kemerdekaan, cita-cita luhur para pendiri bangsa untuk menjadikan Indonesia sebagai negara hukum kian pudar.
Meski UUD 1945 menegaskan bahwa hukum adalah panglima tertinggi, realitas politik belakangan menunjukkan arah sebaliknya. Hukum justru sering dipakai untuk mengamankan kekuasaan, melemahkan lembaga pengawas, serta membungkam kebebasan rakyat.
Fenomena ini bukan sekadar kemunduran demokrasi, melainkan lahirnya wajah baru otoritarianisme. Sebuah rezim yang tetap menggunakan prosedur demokrasi, namun menjadikannya alat untuk memperkuat kekuasaan dan menekan kebebasan.

Legalisme Otoriter: Hukum Jadi Alat Kekuasaan
Ilmuwan politik Javier Corrales menyebutnya sebagai autocratic legalism atau legalisme otoriter. Fenomena ketika hukum disusun secara sewenang-wenang, partisipasi publik hanya formalitas, dan praktik ilegal dilegalkan demi kepentingan rezim.
Contoh paling jelas tampak pada pembentukan UU Cipta Kerja. Proses legislasi dilakukan tertutup, minim transparansi, hingga menimbulkan banyak kejanggalan. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan UU tersebut cacat formil pun diabaikan pemerintah.
Kondisi serupa berlanjut di era Presiden Prabowo Subianto. Revisi UU TNI tiba-tiba muncul tanpa masuk dalam Prolegnas, bahkan dibahas secara tertutup di hotel mewah, ironisnya di tengah pemangkasan anggaran negara triliunan rupiah.
Baca juga: Pengibaran Bendera One Piece Menuai Polemik Jelang HUT RI ke-80
Politik Kartel dan Hilangnya Oposisi
Praktik penyusunan undang-undang yang banal semakin subur karena sistem politik kartel makin mengakar di Indonesia. Partai politik ibarat pedagang yang bersekongkol demi meraup keuntungan, baik berupa kekuasaan maupun uang rakyat.
Dalam sistem kartel ini, oposisi nyaris hilang. Presiden terpilih terpaksa berbagi kekuasaan dengan koalisi besar demi menjaga stabilitas politik.
Publik masih ingat ketika Presiden Jokowi merangkul rival politiknya, Prabowo Subianto, menjadi Menteri Pertahanan. Pola serupa kini ditiru Prabowo dengan mendekati PDIP, bahkan memberikan amnesti politik kepada Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto yang tersandung kasus korupsi.
DPR yang seharusnya menjadi pengawas pemerintah pun justru berubah menjadi kepanjangan tangan rezim. Mahkamah Konstitusi juga kehilangan wibawanya setelah banyak putusan kontroversial yang dinilai melemahkan prinsip check and balances.
Baca juga: Pembebasan Hasto dan Tom Lembong: Strategi Politik atau Ancaman bagi Semangat Antikorupsi?
Kebebasan Sipil Kian Terkekang
Selain hukum dan politik, kebebasan sipil juga ikut menjadi korban. Di era Jokowi, aturan yang memberi kewenangan pemerintah untuk memantau ucapan, tindakan, bahkan pikiran warga dinilai membahayakan demokrasi.
Data YLBHI pada 2019 mencatat 78 kasus serangan terhadap kebebasan berekspresi, berdampak pada lebih dari 6.000 orang, dengan 51 korban meninggal dunia dan 324 anak terdampak.
Kekerasan terhadap jurnalis juga meningkat. AJI mencatat setidaknya 319 kasus hingga akhir 2024, termasuk kriminalisasi, serangan fisik, hingga serangan siber.
Kebebasan akademik pun terancam. Kasus pembatalan seminar Constitutional Law Society UGM pada 2020 serta teror terhadap akademisi Ni’matul Huda menjadi bukti nyata.
Baca juga: Riwayat Politik Kwik Kian Gie: Tokoh PDI-P yang Pernah Dukung Prabowo-Sandi
80 Tahun Merdeka: Demokrasi Dibajak Oligarki
Kini, di usia 80 tahun kemerdekaan, Indonesia berada di titik kritis. Supremasi hukum, hak asasi manusia, dan demokrasi dibajak oleh segelintir oligarki yang berkuasa.
Yang lebih mengkhawatirkan, rezim otoritarian ini tetap mendapat legitimasi semu dari hasil elektoral. Publik seolah dipaksa menerima wajah baru demokrasi yang justru semakin jauh dari cita-cita kemerdekaan 1945.
