Jakarta — Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tengah mengalami perpecahan tajam. Dua kubu utama saling melempar kritik dan tuntutan, masing-masing mengusung versi sendiri mengenai akar konflik, jalan kronologi, dan justifikasi tindakan. Di tengah ketegangan internal itu, publik dibuat bingung: siapa yang benar, siapa yang keliru?
Berikut penguraian mendalam versi tiap kubu serta analisis konteks politik yang melatarbelakangi perseteruan di PPP.
Latar Belakang Konflik Internal
Masalah internal PPP bermula jauh sebelum konflik ini meletus di ruang publik. Perselisihan kepemimpinan dan strategi partai makin memuncak setelah munculnya pengaduan dan tudingan bahwa salah satu pihak berupaya mendominasi struktur partai melalui langkah tak transparan.
Kubu A (sebutlah “kubu norma dan prosedur”) menuduh adanya pelanggaran dalam mekanisme pemilihan internal: bahwa prosedur pemilihan, verifikasi anggota, ataupun kelengkapan administratif tidak dijalankan secara adil dan terbuka. Menurut mereka, langkah-langkah tersebut melanggar AD/ART partai dan prinsip demokrasi internal.
Sementara itu, Kubu B (sebutlah “kubu perubahan dan kaderisasi”) menolak tudingan itu dan justru balik mengklaim bahwa kubu A berusaha mempertahankan status quo agar kekuasaan tetap berada di tangan elite lama. Dalam pandangan kubu B, dinamika perubahan dalam tubuh partai diperlukan agar PPP relevan dengan tantangan zaman dan aspirasi akar rumput.
Baca juga: Ricuh Muktamar PPP X: Kader Luka-Luka, Mardiono Ancam Tempuh Jalur Hukum
Dengan dua sudut pandang yang berbeda itu, konflik kemudian memuncak ke tahap pengajuan laporan resmi ke otoritas partai maupun ke lembaga hukum.

Kronologi Versi Kubu A
- Awal Muncul Ketidakpuasan
Sejumlah kader merasa bahwa ruang partisipasi di pengambilan keputusan semakin sempit. Mereka menyebut bahwa rapat-rapat strategis semakin tertutup dan agenda partai lebih sering dikendalikan oleh kelompok tertentu. - Penolakan Proses Verifikasi
Saat berlangsung verifikasi administrasi terhadap calon pengurus dan calon legislatif internal, kubu A menyebut ada ketidakselarasan antara persyaratan yang dipublikasikan dengan yang diterapkan. - Rapat Internal Dipertanyakan
Beberapa rapat formal internal (musyawarah wilayah, musyawarah cabang) digelar tanpa terlebih dulu diumumkan atau tanpa kehadiran perwakilan dari seluruh lapisan. Menurut kubu A, ini melanggar ketentuan AD/ART yang mewajibkan keterbukaan. - Pelaporan ke DPP dan Legalitas Pengadilan Partai
Karena merasa dirugikan, kubu A melaporkan kasus ini ke Dewan Pimpinan Pusat (DPP) dan bahkan meminta peninjauan ke badan hukum partai. Namun hingga saat ini tanggapan resmi DPP dianggap belum memuaskan. - Upaya Mediasi Gagal
Kubu A menilai bahwa upaya mediasi yang dilakukan oleh pihak ketiga gagal karena pihak lawan menolak mengakui kesalahan administratif maupun membuka ruang dialog terbuka.
Baca juga: 40 Persen Wilayah Indonesia Dikuasai Dinasti Politik, Riset Ungkap Lonjakan Kandidat Pilkada 2024
Kronologi Versi Kubu B
- Kebutuhan Rejuvenasi Kader
Kubu B memulai argumennya dari kebutuhan memperkuat regenerasi dan menciptakan kader muda yang punya terobosan. Mereka berpendapat bahwa kubu lama cenderung stagnan. - Tuduhan Politik Identitas
Kubu B menuduh bahwa kritik kubu A bermuatan kepentingan kelompok tertentu agar tetap mendominasi struktur partai — yakni mempertahankan “tiket” dan pengaruh lama. - Penafsiran AD/ART yang Fleksibel
Dalam menanggapi tudingan kubu A tentang prosedur, kubu B mengklaim bahwa beberapa poin AD/ART harus ditafsirkan sesuai realitas politik agar partai bisa lebih gesit dan adaptif. - Pelaporan Balik ke Badan Etik
Menanggapi laporan kubu A, kubu B juga mengadukan tindakan lawan ke badan etik partai, dengan tuduhan fitnah dan sabotase internal. - Strategi Publikasi Media & Citra
Kubu B tampak lebih agresif dalam memberikan klarifikasi ke media massa, memosisikan diri sebagai pihak yang pro-perubahan dan pro-organisasi modern.
Baca juga: Gaji DPR Tembus Rp100 Juta Lebih per Bulan, Publik Pertanyakan Kepatutan di Tengah Sulitnya Ekonomi
Titik Perselisihan Utama
Dari perbandingan dua versi di atas, beberapa titik sengketa utama jelas muncul:
- Interpretasi AD/ART: Kubu A menuntut ketegasan aturan; Kubu B menginginkan interpretasi adaptif agar tidak membelenggu dinamika politik.
- Proses Verifikasi & Transparansi: Kubu A merasa disingkirkan lewat prosedur administratif yang manipulatif; kubu B menilai tudingan tersebut sebagai upaya melawan perubahan.
- Kepemimpinan Sentralistik vs. Dekentralisasi: Konflik ini juga mencerminkan persoalan klasik ― apakah kekuasaan partai mesti terpusat atau terbagi ke daerah.
- Legitimasi Organ Internal vs. Intervensi Eksternal: Kubu A menyoroti intervensi dari luar (figura elite nasional) dalam keputusan internal partai; kubu B membantah ada campur tangan luar, menegaskan proses internal tetap berjalan.
Dampak Politik dan Masa Depan PPP
Konflik berkepanjangan semacam ini tidak hanya melemahkan citra partai, tapi juga menggerus soliditas kader dan dukungan di akar rumput. Beberapa potensi implikasi:
- Fragmentasi Suara
Jika konflik tak diredam, ada kemungkinan muncul faksi kecil atau “PPP tandingan” yang dapat menarik kader keluar. - Menurunnya Kepercayaan Publik
Publik dan pemilih menaruh harapan tinggi agar partai-partai Islam seperti PPP menjalankan prinsip moral dan etika. Konflik internal seperti ini bisa mengecewakan basis pemilih. - Negosiasi Koalisi yang Terganggu
Dalam konteks pemilu atau formasi koalisi, konflik internal bisa menurunkan daya tawar partai, bahkan membuat partai lawan mempertanyakan komitmen PPP. - Peluang Konsolidasi
Bila salah satu pihak mampu mengambil alih struktur partai dan memaksakan dominasi, mereka bisa “menyapu bersih” lawan dan mulai konsolidasi internal baru.
Baca juga: Gejolak Pati: Belajar dari Benturan Politik, Hukum, dan Krisis Kepercayaan Publik
Kesimpulan dan Rekomendasi Redaksi
Perselisihan antara dua kubu di PPP bukan sekadar soal jabatan atau selisih administratif. Ia mencerminkan persinggungan gagasan idealisme partai sebagai entitas keagamaan-politik dengan realitas politik pragmatis masa kini.
Agar konflik ini tidak menjadikan luka berkepanjangan, ada beberapa langkah yang menurut redaksi sangat penting:
- Dialog Terbuka dan Mediator Independen — dibutuhkan mediator yang benar-benar netral, tanpa ikatan politik menjurus ke salah satu kubu, untuk menjembatani perbedaan versi fakta dan interpretasi.
- Audit Prosedur Partai — badan independen partai harus mengevaluasi seluruh prosedur internal yang dipersoalkan (verifikasi anggota, rapat struktural, pemilihan pengurus) untuk menjernihkan kecurigaan.
- Pembaruan AD/ART secara Konsensual — jika ada poin AD/ART yang terlalu kaku dan tidak relevan, harus dibuka ruang revisi lewat forum musyawarah yang inklusif dan demokratis.
- Rehabilitasi Citra Partai — PPP perlu segera menyampaikan sikap dan roadmap rekonsiliasi ke publik agar kepercayaan masyarakat tidak luntur di tengah pemberitaan konflik berkepanjangan.
Dengan langkah-langkah tersebut, PPP masih punya kesempatan untuk keluar dari krisis internal dengan reputasi yang tak hancur — jika kedua pihak bersedia menanggalkan ego dan mengedepankan kepentingan masa depan organisasi.