Gejolak Pati: Belajar dari Benturan Politik, Hukum, dan Krisis Kepercayaan Publik

Gejolak Pati: Belajar dari Benturan Politik, Hukum, dan Krisis Kepercayaan Publik

Jakarta, Berita Terkini  – Polemik kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Kabupaten Pati menjadi sorotan nasional. Kebijakan yang sah secara hukum justru memicu gelombang protes besar-besaran dari masyarakat. Peristiwa ini menunjukkan adanya benturan serius antara legalitas formal dan legitimasi sosial, yang pada akhirnya membuka ruang diskusi lebih luas tentang politik, hukum, dan komunikasi publik di Indonesia.

Baca juga: Pembebasan Hasto dan Tom Lembong: Strategi Politik atau Ancaman bagi Semangat Antikorupsi?

Belum lama menjabat, Bupati Pati Sudewo langsung menghadapi badai kritik akibat kebijakan PBB-P2 yang naik hingga 250%. Kondisi serupa juga terjadi di daerah lain, bahkan lebih ekstrem, seperti Semarang dengan kenaikan lebih dari 400%, serta Cirebon dan Jombang yang mencapai 1.000%. Namun, hanya di Pati protes masyarakat berkembang menjadi krisis politik yang serius.

Baca juga: 80 Tahun Indonesia: Negara Hukum Runtuh, Demokrasi Digantikan Otoritarianisme Baru

Awalnya, aksi penolakan warga berlangsung tertib. Tetapi situasi memanas setelah pernyataan Bupati dianggap menyinggung masyarakat. Ucapannya yang menyatakan tidak gentar meski puluhan ribu warga turun ke jalan justru menyulut kemarahan publik. Kendati kebijakan akhirnya dicabut, gelombang protes tidak mereda. Warga bergeser dari menolak kenaikan pajak menjadi menuntut pemakzulan Bupati. DPRD Pati pun bergerak dengan mengajukan hak angket dan membentuk Panitia Khusus (Pansus) pemakzulan.

Gejolak Pati: Belajar dari Benturan Politik, Hukum, dan Krisis Kepercayaan Publik
Gejolak Pati: Belajar dari Benturan Politik, Hukum, dan Krisis Kepercayaan Publik

Legalitas Ada, Legitimasi Hilang

Secara hukum, kenaikan PBB-P2 memiliki dasar kuat. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 serta PP Nomor 35 Tahun 2023 memberi kewenangan pemerintah daerah menentukan tarif dan NJOP melalui peraturan daerah. Bahkan, mekanisme keberatan hingga banding tersedia bagi warga yang merasa dirugikan. Artinya, kebijakan itu sah secara normatif.

Namun, legitimasi sosial berbeda ceritanya. Resistensi publik yang meluas menunjukkan adanya krisis kepercayaan terhadap pemimpin. Hal ini menegaskan bahwa kebijakan publik tidak cukup hanya sah secara prosedural, melainkan juga harus peka terhadap aspirasi dan kondisi sosial masyarakat.

Baca juga: Tangis Megawati Pecah di Kongres PDI-P Saat Sambut Hasto: “Satyam Eva Jayate, Kebenaran Pasti Menang!”

Peran Partai Politik yang Absen

Fenomena di Pati juga menyingkap lemahnya fungsi partai politik. Padahal, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 menegaskan partai politik berfungsi mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan masyarakat. Dalam kasus Pati, absennya peran mediasi membuat Bupati berhadapan langsung dengan rakyat tanpa jembatan komunikasi. Situasi inilah yang memperkuat tesis banyak ahli bahwa partai politik di Indonesia kerap mengalami disfungsi.

Antara Hukum dan Politik

Pemakzulan kepala daerah tidak bisa hanya mengandalkan tekanan massa. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur bahwa pemberhentian hanya dapat dilakukan jika ada pelanggaran hukum jelas, mulai dari perbuatan tercela, tindak pidana, hingga pelanggaran sumpah jabatan. Semua itu harus melalui proses DPRD dan diuji Mahkamah Agung.

Sejarah menunjukkan, pemakzulan kepala daerah seperti Romi Herton (Walikota Palembang), Aceng Fikri (Bupati Garut), dan Saleh Manaf (Bupati Bekasi) selalu berangkat dari dasar hukum yang kuat, bukan sekadar tekanan politik. Dengan demikian, pemakzulan Bupati Pati pun harus berpijak pada pembuktian hukum, bukan hanya desakan massa.

Baca juga: Pengibaran Bendera One Piece Menuai Polemik Jelang HUT RI ke-80

Pelajaran dari Pati

Kasus ini memberi banyak pelajaran penting. Pertama, partai politik harus mengembalikan fungsinya sebagai penyalur aspirasi rakyat. Kedua, pemerintah daerah wajib membangun mekanisme komunikasi publik yang lebih partisipatif agar kebijakan tidak menimbulkan gejolak. Dan ketiga, hukum harus menjadi filter utama agar pemakzulan tidak menjadi alat politisasi kekuasaan.

Peristiwa Pati menjadi pengingat bahwa keabsahan hukum tanpa legitimasi sosial akan rapuh, dan kepemimpinan yang gagal membangun komunikasi hanya akan melahirkan krisis kepercayaan.