Jakarta – Momen ziarah Presiden RI, Prabowo Subianto, ke Belanda baru-baru ini menyita perhatian publik. Pasalnya, salah satu agenda kunjungan ke Negeri Kincir Angin itu adalah berdoa di makam umum Oud Eik en Duinen di Den Haag — tempat yang dikabarkan menjadi lokasi peristirahatan kakek dan nenek dari pihak keluarga ibunya. Jejak silsilah keluarga Prabowo ini kemudian memunculkan berbagai pertanyaan tentang asal-usul garis darah dan latar belakang sejarahnya.
Tim dokumentasi kepresidenan merekam saat Prabowo berdiri di depan sebuah batu nisan bertuliskan nama “Philip Frederik Laurens Sigar – Cornelie Emelie Maengkom – Frederina Sigar.” Nama-nama tersebut sontak menyedot perhatian warganet dan media, karena dianggap sebagai bukti kuat bahwa kakek-nenek Prabowo pernah dimakamkan di Belanda.
Baca juga: Serangan Siber di Belanda Bikin Speed Camera Lumpuh, Pengendara Malah Senang

Fakta di Balik Nama-nama di Makam Den Haag
Hasil penelusuran menunjukkan bahwa nama-nama tersebut memang terkait dengan garis keluarga Prabowo melalui pihak ibunya, Dora Marie Sigar. Philip Frederik Laurens Sigar adalah sosok yang diidentifikasi sebagai kakek Prabowo dari garis ibunda, sedangkan Cornelie Emelie Maengkom merupakan neneknya.
Baca juga: Huawei MatePad 11.5 2025 Resmi Hadir di Indonesia, Andalkan PaperMatte Display & PC-Level WPS Office
Keduanya berasal dari keturunan Minahasa, Sulawesi Utara — suku yang memiliki akar budaya kuat di kawasan itu. Keberadaan mereka di Belanda, kemudian makam di Den Haag, menunjukkan dinamika sejarah kolonial dan mobilitas lintas negara dalam keluarga.
Lebih jauh, Philip pernah aktif dalam pemerintahan kolonial Hindia Belanda di Manado. Di antaranya, ia menjabat sebagai pejabat Gemeenteraad Manado pada tahun 1920–1922, lalu Sekretaris Residen Manado (1922–1924). Dalam catatan sejarah ini pula, terungkap bahwa Prabowo memiliki garis keturunan dari Benjamin Thomas Sigar, yang pernah menjabat sebagai kapitein (pemimpin) Pasukan Tulungan (Hulptroepen) dalam upaya membantu Hindia Belanda menangani konflik Jawa.
Melalui kehadiran mendiang kerabatnya di Belanda, perjalanan sejarah keluarga Prabowo menjadi lebih kompleks dan menarik untuk ditelaah — terutama bagaimana garis darah dan mobilitas kolonial mempengaruhi wajah keluarga di generasi sekarang.
Makna Ziarah: Bukan Sekadar Simbol, tapi Bentuk Koneksi Sejarah
Ziarah ke makam kakek-nenek di luar negeri tentu bukan tindakan simbolis semata. Dalam konteks kunjungan kenegaraan, langkah ini bisa dipandang sebagai usaha untuk mengenali akar budaya serta menjaga relasi emosional dan sejarah keluarga lintas generasi. Dalam catatan publik, ziarah ini muncul sebagai wujud penghormatan terhadap leluhur dan sekaligus pengakuan bahwa garis keluarga Indonesia tidak selalu terisolasi dalam satu wilayah saja.
Bagi publik, kehadiran momen ini pada kunjungan luar negeri pun membuka diskursus kuat tentang identitas nasional dan warisan sejarah kolonial — bagaimana perjalanan seseorang (terutama figur publik seperti presiden) tak lepas dari jejak masa lalu keluarga mereka.
Baca juga: Sorotan Eropa Bersatu untuk Indonesia: Krisis Legitimasi Moral dan Politik Kian Mengkhawatirkan
Reaksi Publik & Media: Antara Kagum dan Teka-teki
Begitu kabar pemakaman kakek-nenek di Belanda beredar, berbagai reaksi mewarnai media sosial dan pemberitaan. Ada yang memuji bahwa dengan langkah tersebut Prabowo menunjukkan sisi humanis, menghormati leluhur, dan menggugah rasa kebangsaan. Namun tidak sedikit pula yang mempertanyakan latar sejarah dan makna politik di balik tindakan ziarah.
Pertanyaan muncul: apakah keluarga Prabowo memiliki hubungan langsung legal (penduduk, kewarganegaraan) di Belanda? Apakah makam tersebut benar-benar milik leluhur— atau sekadar makam peninggalan yang dikaitkan karena kemiripan nama? Publik menaruh harapan agar pihak kepresidenan memberikan klarifikasi rinci agar tidak memicu spekulasi berlebihan.
Kesimpulan
Jejak keluarga Prabowo Subianto yang tersebar hingga ke Belanda bukan sekadar kisah genealogis. Ia menjadi perpaduan antara sejarah kolonial, dinamika migrasi leluhur, dan pentingnya pemahaman identitas lintas generasi. Ziarah ke makam kakek-nenek di Den Haag adalah titik pertemuan antara masa lalu dan masa kini — yang mengundang publik untuk menelusuri sisi-sisi tak terduga dari sejarah keluarga seorang figur kenegaraan.