Jakarta, Berita Terkini – Langkah Presiden Prabowo Subianto dalam memberikan amnesti kepada Hasto Kristiyanto dan abolisi kepada Thomas Lembong kembali membuka perdebatan panas soal arah penegakan hukum dan rekonsiliasi politik di Indonesia. Walau dinilai mampu meredam ketegangan antar elite, keputusan ini juga mengundang tanda tanya besar: apakah stabilitas politik harus dibayar dengan mundurnya semangat pemberantasan korupsi?
Kamis malam (31/7/2025), DPR menyetujui pemberian amnesti untuk Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto dan abolisi untuk eks Mendag Tom Lembong. Ini membuka jalan bagi Presiden Prabowo untuk membebaskan keduanya dari jerat hukum yang masih dalam proses banding dan belum berkekuatan hukum tetap.
Hasto sebelumnya divonis 3,5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta karena terbukti terlibat dalam kasus suap terkait pergantian antarwaktu anggota DPR untuk Harun Masiku. Sedangkan Tom Lembong menerima vonis 4 tahun 6 bulan penjara akibat kasus impor gula saat menjabat pada 2015–2016.
Hingga Jumat (1/8/2025), kuasa hukum keduanya bersiap mengurus pembebasan dari rumah tahanan. Namun, proses ini masih menunggu keputusan presiden yang secara resmi mengeluarkan surat amnesti dan abolisi.
Baca juga: Riwayat Politik Kwik Kian Gie: Tokoh PDI-P yang Pernah Dukung Prabowo-Sandi

Baca juga: Roy Suryo Soroti Gaya Jokowi di Reuni UGM, Sindir Soal Busana hingga Ijazah
Strategi Politik atau Kemunduran Hukum?
Menurut Wasisto Raharjo Jati, peneliti dari Pusat Riset Politik BRIN, langkah ini bisa memperkuat komunikasi lintas elite, khususnya antara Prabowo, PDI-P, dan mantan Presiden Joko Widodo. Dengan sinyal ini, besar kemungkinan PDI-P yang sebelumnya menjadi oposisi tunggal di parlemen, akan segera merapat ke pemerintahan.
Namun di sisi lain, Wasisto mengingatkan bahwa menggunakan hak prerogatif untuk membebaskan terdakwa korupsi, tanpa landasan kemanusiaan yang kuat, bisa menjadi preseden buruk dalam perjalanan demokrasi Indonesia.
“Jika amnesti dan abolisi hanya dijadikan alat transaksi politik, ini akan menggerus kepercayaan publik terhadap komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi,” tegasnya.
Baca juga: Kelas Menengah Apatis Politik, Demokrasi Indonesia di Ujung Tanduk
Rekonsiliasi Tak Bisa Dipaksakan
Wasisto juga menyoroti bahwa rekonsiliasi politik yang ditawarkan lewat pembebasan ini belum tentu berumur panjang. Menurutnya, ego dan kepentingan politik jangka pendek masih mendominasi ruang politik nasional.
“Rekonsiliasi jangka panjang hanya bisa dicapai bila ada penegakan hukum yang independen dan adil. Jika tidak, kesepakatan elite hanya akan bersifat sementara,” lanjutnya.
Baca juga: Abraham Samad Bingung Namanya Terseret Kasus Ijazah Jokowi: “Saya Tak Ada Masalah Personal!”
Misi Menjaga Stabilitas ala Prabowo
Senada, Arya Fernandes dari CSIS menilai, manuver Prabowo adalah bentuk usaha menjaga stabilitas nasional di awal masa jabatannya. Ia berusaha merangkul semua kekuatan politik, termasuk dua tokoh besar: Megawati Soekarnoputri dan Joko Widodo.
“Presiden ingin menghindari konflik dan menjaga ketenangan politik. Abolisi dan amnesti ini adalah bagian dari upaya konsolidasi,” ujarnya.
Arya melihat Prabowo sedang berada dalam posisi sulit, harus menyeimbangkan kepentingan dua poros besar: Megawati yang masih memimpin PDI-P, dan Jokowi yang berperan penting dalam kemenangan Pilpres 2024. Dengan keputusan ini, Prabowo berupaya menjembatani dua kubu yang sempat renggang.
Baca juga: Feri Amsari Soroti Kasus Tom Lembong: Peradilan Bernuansa Dendam Politik?
Politik vs Hukum: Mana yang Didahulukan?
Meski dapat mencairkan ketegangan antar elite, langkah ini tetap memunculkan pertanyaan: apakah stabilitas politik layak diperoleh dengan mengorbankan prinsip keadilan hukum?
Para pengamat sepakat bahwa Presiden Prabowo harus berhati-hati dalam menggunakan hak prerogatifnya. Jika terlalu sering digunakan untuk mengakomodasi kepentingan politik, bukan tidak mungkin semangat reformasi dan pemberantasan korupsi yang telah dibangun puluhan tahun akan terkikis.
Keputusan ini mungkin menciptakan ketenangan jangka pendek, tapi riak ketidakpercayaan publik terhadap sistem hukum bisa menjadi bom waktu di masa depan.
Kesimpulan:
Langkah Presiden Prabowo dalam memberikan amnesti dan abolisi memang bisa dibaca sebagai strategi merangkul lawan menjadi kawan. Tapi di tengah harapan publik akan pemerintahan yang bersih dan tegas terhadap korupsi, keputusan ini sekaligus membuka ruang diskusi: apakah kepentingan politik elite lebih penting daripada keadilan hukum bagi rakyat?