Trump Setujui Penurunan Tarif Impor RI Jadi 19%, Asalkan Data Pribadi WNI Boleh Ditransfer ke AS

Trump Setujui Penurunan Tarif Impor RI Jadi 19%, Asalkan Data Pribadi WNI Boleh Ditransfer ke AS

Jakarta, Berita Terkini  – Ada kabar gembira sekaligus bikin alis mengernyit dari kerja sama dagang Indonesia-Amerika Serikat. Pemerintahan Presiden AS Donald Trump sepakat menurunkan tarif impor produk asal Indonesia, dari ancaman 32 persen menjadi hanya 19 persen. Tapi, ada “harga” yang harus dibayar: transfer data pribadi WNI ke Amerika Serikat.

Kesepakatan ini diumumkan langsung oleh Gedung Putih melalui dokumen berjudul Joint Statement of Framework for United States-Indonesia Agreement on Reciprocal Trade. Dalam pernyataan itu, disebutkan bahwa Presiden Trump dan Presiden RI Prabowo Subianto terlibat langsung dalam pembahasan kerja sama ini.

Salah satu poin yang jadi sorotan publik adalah soal data pribadi warga Indonesia yang boleh ditransfer ke AS. Ya, kamu nggak salah baca — data kita bisa saja dikirim ke luar negeri.

Data Pribadi Jadi “Tiket” Perdagangan?

Dalam dokumen yang dirilis resmi, disebutkan bahwa Indonesia akan membuka jalan bagi pengiriman data pribadi ke AS, sebagai bentuk upaya menghilangkan hambatan terhadap investasi dan layanan digital.

Baca juga: Berani! Prancis Umumkan Akan Akui Negara Palestina, Netanyahu Meledak Marah

“Indonesia akan memberikan kepastian terkait kemampuan untuk memindahkan data pribadi dari wilayahnya ke Amerika Serikat,” tulis dokumen tersebut. Tapi tenang dulu, karena dijanjikan bahwa transfer data itu tetap mengikuti hukum Indonesia, khususnya UU No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP).

Trump Setujui Penurunan Tarif Impor RI Jadi 19%, Asalkan Data Pribadi WNI Boleh Ditransfer ke AS
Trump Setujui Penurunan Tarif Impor RI Jadi 19%, Asalkan Data Pribadi WNI Boleh Ditransfer ke AS

Baca juga: Konflik Memanas di Perbatasan Kamboja-Thailand, Roket Tewaskan Warga Sipil, Serangan Udara Diluncurkan

AS Dianggap Tak Punya UU Perlindungan Data yang Kuat

Nah, ini dia masalahnya. Walau AS ingin data warga Indonesia bisa masuk ke sistem mereka, negara adidaya ini ternyata belum punya undang-undang perlindungan data pribadi yang komprehensif, berbeda dengan Uni Eropa yang punya GDPR — regulasi kelas dunia yang bahkan dijadikan acuan UU PDP Indonesia.

Dalam Pasal 56 UU PDP, ditegaskan bahwa transfer data hanya bisa dilakukan ke negara dengan standar perlindungan data yang “setara atau lebih tinggi”. Jika tidak setara, harus ada perlindungan tambahan yang bersifat mengikat, atau bahkan persetujuan langsung dari pemilik data.

Risiko di Balik Data yang Mengalir

Pakar komunikasi dan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menyebut bahwa ini semua demi kepentingan dagang, bukan untuk menyerahkan kendali data ke negara lain. Menurutnya, transparansi data dibutuhkan demi memperlancar arus barang dan jasa, misalnya siapa pembeli dan siapa penjual.

Namun tetap saja, banyak pihak mengkhawatirkan dampak besar bagi perusahaan seperti Google, Meta, hingga AWS yang beroperasi di Indonesia. Setiap transaksi lintas batas harus lebih hati-hati, apalagi jika tidak mau terjerat pasal UU PDP yang berlaku secara ekstrateritorial.

Baca juga: Satria Arta Kumbara Ingin Jadi WNI Lagi, Ini Syarat Lengkapnya Menurut Hukum Indonesia

Aturan Penyimpanan Data Juga Jadi Perhatian

Indonesia juga punya aturan tegas soal penyimpanan data, terutama data sektor publik dan transaksi keuangan yang wajib disimpan di server dalam negeri. Sementara untuk sektor swasta, data masih boleh disimpan di luar negeri, tapi dengan syarat tertentu.

Karena itu, wacana transfer data ke AS dalam kerja sama ini jelas memantik debat. Apalagi belum ada Badan Pengawas Perlindungan Data Pribadi yang terbentuk, padahal UU-nya sudah harus berjalan efektif sejak Oktober 2024.

Pemerintah Masih Bahas Detailnya

Merespons kabar dari Gedung Putih, Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid menyatakan pihaknya masih akan berkoordinasi dengan Menko Perekonomian terkait isi detail perjanjian ini.

“Saya akan berkoordinasi dulu, karena belum tahu pasti topiknya. Tapi setelah pertemuan, akan ada pernyataan resmi,” ujar Meutya di Kompleks Istana Kepresidenan.

Baca juga: Trump Ancam Bombardir Nuklir Iran, Israel Tak Surut Nafsu Perang Meski Gencatan Berlaku

Kesimpulan:

Kerja sama perdagangan yang menguntungkan Indonesia tentu patut diapresiasi. Tapi saat menyangkut data pribadi warga negara, transparansi dan perlindungan menjadi hal mutlak. Transfer data bukan cuma soal teknis, tapi juga menyangkut hak-hak digital masyarakat. Pemerintah harus memastikan bahwa “diskon tarif” tidak dibayar mahal dengan keamanan data kita.